Suara Tuhan
30 December 2018
Saya senang mendengar cerita yang panjang. Dia kemudian mulai bercerita,
“Maaf ya, Bu. Ini zaman yang sangat sulit.”
Anaknya tiga orang. Dua perempuan dan satu laki-laki. Kelas 1 SMP, kelas
5 SD dan kelas 2 SD. Istrinya pernah bekerja sebagai penjaga toko mainan, tapi
jarak rumah kontrakan mereka dan toko itu cukup jauh. Waktu kerja dimulai pagi
hari dan berakhir di sore hari. Khawatir anak-anak mereka tumbuh tanpa
pengawasan, istrinya memilih berhenti bekerja. Dia mendukung keputusan
istrinya. Sebelum menjadi pengemudi taksi, dia telah bekerja serabutan: di
bengkel, di toko martabak, menjadi tukang cuci piring rumah makan, dan menjadi
tukang ojek.
Dia berupaya mengubah kehidupan menjadi lebih baik dengan melamar
menjadi pengemudi taksi. Setelah diterima, dia malah bingung. “Karena saya
tidak punya hp sendiri, Bu. Menjadi pengemudi taksi, wajib punya hp.”
Ketika mengunjungi ibunya, kebetulan perempuan tua yang memiliki kios
kecil di samping rumah ibunya sedang bertamu. “Biasalah, Bu, sesama ibu-ibu
kadang-kadang suka ngobrol sebentar,” tuturnya. Perempuan itu bertanya apa
pekerjaannya. “Saya jawab diterima jadi sopir, tapi tidak punya hp, kata saya.
Ibu itu tanya berapa harga hp. Saya bilang Rp 300 ribu. Dia langsung ke kiosnya
dan kembali dengan uang Rp 300 ribu. Dia bilang, beli hp dengan uang ini, kamu
harus kerja untuk anak-anak kamu. Jangan pikir kapan mengembalikannya. Saya
sampai cium tangan ibu itu berkali-kali, Bu, saking berterima kasihnya saya. “
Hari itu dia hanya meninggalkan uang belanja Rp 15 ribu untuk istrinya
di rumah, karena hanya itu uang yang dia miliki. Istrinya ingin membagi dua
uang tersebut supaya dia bisa membeli sebotol air mineral, mengingat dia akan
bekerja seharian. Dia menolak, karena menganggap istrinya lebih memerlukan uang
tadi untuk keperluan rumah tangga.
Apa yang bisa dibeli dengan uang Rp 15 ribu?
“Itu sebisa-bisanya istri saya, Bu,” katanya, lirih.
Ada satu hari yang membuat dia merasa gagal sebagai ayah belum lama ini.
Tetangga sebelah rumah kontrakannya membeli jagung rebus dari penjual
jagung rebus yang lewat sore itu. Anaknya yang bungsu ingin dibelikan jagung
rebus juga. Tapi dia tidak mempunyai uang sepeser pun di dompet. “Benar-benar
kosong, Bu,” kisahnya. Anaknya tidak merengek ataupun memaksa, melainkan
buru-buru pergi ke rumah tetangganya. Dia melihat anaknya meraih tangan anak
tetangganya yang tengah makan jagung rebus, menjilati tangan itu. “Karena di
situ ada bekas-bekas jagung rebus, Bu.” Seketika seperti ada tsunami yang
melanda hatinya. Dia segera berlari ke dalam rumah dan menangis. Istrinya
menenangkannya, tapi dia tidak bisa melupakan kejadian itu.
Seringkali uang benar-benar minim. “Ibu tahu ‘kan mi instan yang beli
satu dan di dalamnya ada tiga? Itu dimasak istri saya, dicampur nasi seadanya.
Kami makan berlima, Bu. Kadang saya hanya dapat kuahnya pun tidak masalah, asal
anak-anak saya makan lebih banyak,” katanya.
Dia terus bercerita, “Biaya listrik juga terus meningkat, Bu. Rp 20 ribu
itu hanya untuk dua hari. Kalau pun diirit hanya bisa sampai 2,5 hari.”
Setelah itu dia mengisahkan latar belakang keluarganya. “Kami ini
orang-orang kecil, orang-orang rendahan. Bapak saya juga sopir, Bu.” katanya.
Tidak banyak perubahan hidup dari rezim ke rezim, “Tapi di masa ini adalah yang
masa paling sulit. Benar-benar sulit, Bu. Harga di pasar juga naik.”
“Pak, bukannya harga barang-barang di pasar tidak ada yang naik?” kata
saya.
“Kata siapa, Bu?”
“Kata pemerintah.”
“Pemerintah mana ya, Bu?”
“Pemerintah negara Somalia, Pak.” Saya bergurau.
Dia tertawa. Kami sama-sama tertawa.
Katanya, “Bu, saya belum pernah ketemu penumpang seperti ibu ini. Saya
tadinya sedih, tahu-tahunya bisa ketawa.”
Tak berapa lama dia mulai bercerita tentang pendidikan anak-anaknya.
“Uang sekolah memang gratis. Tapi sebenarnya lebih parah. Anak-anak diwajibkan
membeli buku-buku pelajaran. Biayanya juga mahal dan harus dibeli, meski
dicicil. Lebih parah lagi, buku pelajaran yang digunakan kakaknya tidak bisa
digunakan adiknya. Berbeda dengan zaman saya sekolah dulu. Buku-buku pelajaran
saya bisa diturunkan ke adik-adik saya. Orangtua kami tidak perlu mengeluarkan
biaya berkali-kali.”
Anaknya berprestasi, ranking dua di kelas. Dia berusaha mendapatkan
kartu Jakarta Pintar. “Tapi gagal,” katanya, lirih, “Kartu itu untuk orang yang
berdomisili di Jakarta. KTP saya, KTP Jakarta, tapi saya berdomisili di
Tangerang. Waktu mengajukan kartu itu, tim survei memeriksa. Ternyata saya
tinggal di Tangerang. Ya tidak dapat, Bu. Saya memang sengaja pindah ke
Tangerang, karena kontrak rumah lebih murah, Rp 700 ribu per bulan. Di Jakarta,
saya tidak sanggup, karena minimal harga kontrakan Rp 1,2 juta per bulan. Ini
saja bayar kontrakan belum lunas bulan ini. Tapi bagaimana lagi, sudah berusaha
keras dan uang memang belum dapat.”
Saya menasihati dia, “Jangan putus asa, Pak. Dalam kehidupan ini, ada
masa-masa yang sangat sulit. Tapi Tuhan Maha Adil. Bapak akan memperoleh rezeki
asal yakin dan berdoa.”
Saya juga berniat membelikannya makan siang yang lezat, lalu bertanya,
“Apa makanan kesukaan Bapak?”
“Apa ya, Bu? Tumis-tumisan, Bu. Makanan saya itu kalau di rumah ya tumis
sawi, tumis kangkung, tumis kacang panjang… dengan nasi, Bu. Kalau ada tempe
dengan tempe, Bu.”
Katanya, dia tidak ingin dipimpin orang yang sama. Dulu dia memilih
calon pemimpin yang dikalahkan dan tahun depan dia akan memilih calon pemimpin
yang pernah dikalahkan ini.
Saya membalas, “Saya dulu memilih calon yang sekarang memerintah, Pak.
Maafkan pemimpin yang sekarang karena tidak berhasil memperbaiki nasib bapak
sekeluarga.”
Dia terdiam sebentar, setelah itu berkata, “Bukan salah Ibu. Kita ini
sama-sama rakyat. Saya tidak menyangka Ibu dukung calon yang sekarang
memerintah. Pendukungnya biasanya membabi buta, Bu. Sangat membabi buta. Kalau
bicara tidak mau kalah, semau-maunya dan tidak mau mendengar, Bu. Taksi saya
ini saksinya.”
Kali ini saya yang terdiam.***
Karya : Linda Christanty
Upload oleh : Dark_shine
No comments:
Post a Comment